Allah SWT Menolak Ibadahnya
Dampak yang pertama ketika seorang muslim dengan sengaja makan barang haram adalah tidak akan diterima amal ibadahnya walaupun ia dengan rajin mengerjakannya.
Ibnu Abbas meriwayatkan dari Sa'ad bin Abi Waqash bahwasanya Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Sa'ad, "Wahai Sa'ad, perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal), niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak untuknya." (HR Thabrani)
Hukum Memakan Makanan yang Haram Tetapi Tidak Mengetahuinya
Seorang muslim sudah seharusnya menjaga makanan yang dia makan agar hanya barang yang halal saja yang masuk ke dalam perutnya. Dia harus selalu menghindari makanan yang diharamkan Allah SWT.
Namun dalam kehidupan ini tentu ada hal yang tidak bisa dikendalikan. Bagaimana hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya?
Disebutkan dalam buku Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam apabila seseorang terpaksa atau dalam keadaan tak sengaja dan tak sadar memakan barang haram, maka ia wajib memuntahkan jika bisa.
Hukum memakan makanan yang haram tetapi tidak mengetahuinya tidak akan ditimpakan dosa bagi orang tersebut atas kemurahhatian Allah SWT. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku 50 Masalah Agama Bagi Muslim Bali karya Bagenda Ali.
"Tentunya apabila seseorang muslim memakan daging babi karena ketidaktahuan bahwa yang dimakan adalah daging babi, hal itu termasuk sesuatu yang dimaafkan (tidak berdosa)," tulis buku tersebut.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa." (HR Ibnu Majah)
Jadi, apabila seorang muslim tersebut benar-benar tidak mengetahui tentang keharaman makanan yang ia konsumsi maka hal itu tidak tergolong dosa di sisi Allah SWT.
Hal yang harus dilakukan muslim tersebut menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz adalah berkumur-kumur dan mencuci mulutnya dari sisa-sisa najis dan mencuci tangannya. Jika sudah di masa lampau maka dia tidak melakukan apa-apa.
Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi menambahkan bahwa tidak ada kewajiban apa-apa bagi orang yang tidak sengaja atau tidak mengetahui makanannya haram. Yang perlu ia lakukan adalah berhati-hati dan waspada di masa depan. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Jilid 4, No 7290 pertanyaan ke-5)
Hukum Memakan Ikan Hiu dan Anjing Laut
Bagaimanakah hukum memakan ikan hiu dan anjing laut?
Fauzi, Probolinggo, Jawa Timur (disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulhijjah 1430 H / 11 Desember 2009)
Ikan hiu (Inggris: shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu (القِرْشُ). Dalam Kamus al-Maurid, diterangkan bahwa:
اَلْقِرْشُ سَمَكٌ بَعْضُهُ كَبِيْرٌ يُخْشَى شَرُّهُ.
Artinya: “Shark (ikan hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya.”
Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk binatang laut yang hukumnya halal menurut keumuman dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62).
Dalil al-Qur`an antara lain firman Allah SWT:
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” [QS. al-Maidah (5): 96]
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan:
قَوْلُهُ تَعَالَى ”أحلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ“ هَذَا حُكْمٌ بِتَحْلِيْلِ صَيْدِ البَحْرِ وَهُوَ كُلُّ مَا صُيِّدَ مِنْ حَيَاتِهِ.
Artinya: “Firman Allah ta’alaأحِلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya …” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Imam al-Qurthubi, 6/318)
Dalil hadits, antara lain adalah sabda Nabi saw:
وَقَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ، أَنَّ رَجُلاً مِنْهُمْ، قَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّا نَرْكَبُ أَرْمَاثًا فِي الْبَحْرِ، فَنَحْمِلُ مَعَنَا الْمَاءَ لِلشفه، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَائِنَا عَطِشْنَا، وَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَاءِ الْبَحْرِ، كَانَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهُ شَيْءٌ! فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Artinya: “Musaddad berkata: Yahya telah menceriterakan kepada kami dari Yahya bin Sa’id al-Anshari, Abdullah bin Mughirah telah menceriterakan kepada kami dari seseorang yang berasal dari Bani Mudlij, bahwa seorang diantara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh kami mengendarai kapal di laut, lalu kami membawa air untuk kami minum (agar tidak haus), Jika kami menggunakan air tersebut untuk wudhu, maka kami mengalami kehausan. Dan jika kami menggunakan air laut (untuk berwudhu), maka kami merasakan sesuatu (yang membuat ragu)! Lalu Nabi saw bersabda: “Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” [HR. Malik, Ashhabus-Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain, lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, no. 491]
Dalam kitab Aunul-Ma’bud dijelaskan, hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya:
أنّ جَمِيْعَ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ أي مَا لا يَعِيشُ إلا بِالْبَحْرِ حَلالٌ
Artinya: “Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di laut, adalah halal.” (Muhammad Syamsul-Haq al-Azhim Abadiy Abu ath-Thayyib, Aunul-Ma’bud, Juz 1/107)
Jadi, semua hewan laut adalah halal berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini adalah ikan hiu.
Memang ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mengharamkan ikan hiu, karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw bi-naabihi). (Abul ‘Ala` al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus-Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring:
وَحَدَّثَنِى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرٌو – يَعْنِى ابْنَ الْحَارِثِ – أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىِّ عَنْ أَبِى ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Artinya: “Telah menceriterakan kepada kami Harun bin Sa’id Al-Aili, telah menceriterakan kepada kami Ibnu Wahab, telah memberitakan kepada kami Amr—yaitu Ibnu Harits—bahwa Ibnu Syihab telah berkata kepadanya dari Abu Idris al-Khaulani dari Abu Tsa’labah al-Khusyani bahwa, Nabi saw telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” [Shahih Muslim, Bab Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring, Juz 6, hal. 60]
Namun, al-Muhib ath-Thabari memfatwakan bahwa ikan hiu adalah halal, mengikuti fatwa Ibnul-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah. Menurut Syaikh al-Khathib asy-Syarbini pengarang kitab Mughni al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus-Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah. (Ibrahim bin Muhammad; Manarus-Sabiil, 2/368).
Yang lebih rajih menurut kami, adalah pendapat yang menyatakan bahwa ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang telah disebutkan di atas. Adapun dalil hadits dari Abu Tsala’bah al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak dapat diterima, karena hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayawan al-barr), tidak mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut secara umum.
Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits dari Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meskipun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.
Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas secara umum, hingga mencakup pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua binatang laut, tidak diamalkan.
Berdasarkan hal itu, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih kuat (rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas.
Mengenai anjing laut, perlu diketahui lebih dahulu bahwa ada dua pendapat yang saling berlawanan tentang apakah mamalia ini termasuk binatang darat (hayawanul-barr) ataukah binatang laut (hayawanul-bahr). Yusuf al-Qaradawi dalam Halal Haram dalam Islam mengkategorikan anjing laut sebagai binatang laut. Sementara dalam rubrik Konsultasi Agama: Hukum Binatang yang Hidup di Dua Alam di situs Voice of Islam (http://www.voa-islam.net/), anjing laut digolongkan ke dalam kategori lebih dominan sebagai binatang darat. Sekalipun demikian, jumhur ‘ulama bersepakat tentang bolehnya memakan daging anjing laut. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil nash yang menjelaskan mengenai keharamannya, dan oleh karena itu berlaku hukum asalnya yaitu boleh.
Pengikut Hambali termasuk yang memasukkan anjing laut ke dalam kategori binatang laut. Namun mereka berpendapat, karena anjing laut merupakan hewan yang berbeda dengan hewan laut pada umumnya, sebab anjing laut memiliki darah yang mengalir dan sering hidup di darat, maka mereka mensyaratkan agar ia disembelih lebih dahulu. (Lihat al-Mughni, Jilid 11, hal: 83). Oleh karena itu, ia tidak halal dimakan apabila mati tanpa disembelih terlebih dahulu, berbeda dengan beberapa jenis ikan, ikan paus dan semacamnya dari spesies hewan laut yang tidak hidup kecuali di air. Apalagi bagi yang berpendapat bahwa anjing laut termasuk binatang darat (meskipun mempunyai kemampuan bertahan sangat lama di dalam air dan berenang dengan sangat baik), maka syarat harus disembelih adalah mutlak sebagaimana binatang darat sembelihan yang lain.
Jumhur ‘ulama cenderung tidak mensyaratkan anjing laut harus disembelih terlebih dahulu, sebab hal ini termasuk perkara yang umum dengan berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari, sebagaimana yang telah dicantumkan sebelumnya. (Lihat Syarah Bulughul-Maram asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, Juz 2, hal: 5). Namun berbeda dengan jumhur ulama, berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami menyimpulkan bahwa anjing laut halal dimakan, tetapi dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2010
Hukum Memakan Ikan Hiu dan Anjing Laut
Bagaimanakah hukum memakan ikan hiu dan anjing laut?
Fauzi, Probolinggo, Jawa Timur (disidangkan pada hari Jum’at, 24 Zulhijjah 1430 H / 11 Desember 2009)
Ikan hiu (Inggris: shark) dalam literatur bahasa Arab disebut al-qirsyu (القِرْشُ). Dalam Kamus al-Maurid, diterangkan bahwa:
اَلْقِرْشُ سَمَكٌ بَعْضُهُ كَبِيْرٌ يُخْشَى شَرُّهُ.
Artinya: “Shark (ikan hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti kebuasannya.”
Ikan hiu hukumnya mubah, karena termasuk binatang laut yang hukumnya halal menurut keumuman dalil-dalil al-Qur`an dan as-Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62).
Dalil al-Qur`an antara lain firman Allah SWT:
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” [QS. al-Maidah (5): 96]
Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya mengatakan:
قَوْلُهُ تَعَالَى ”أحلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ“ هَذَا حُكْمٌ بِتَحْلِيْلِ صَيْدِ البَحْرِ وَهُوَ كُلُّ مَا صُيِّدَ مِنْ حَيَاتِهِ.
Artinya: “Firman Allah ta’alaأحِلّ لَكُمْ صَيْدُ البَحْرِ (dihalalkan bagimu binatang buruan laut) ini merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang yang diburu dalam keadaan hidupnya …” (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur`an, Imam al-Qurthubi, 6/318)
Dalil hadits, antara lain adalah sabda Nabi saw:
وَقَالَ مُسَدَّدٌ: حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ الأَنْصَارِيِّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُدْلِجٍ، أَنَّ رَجُلاً مِنْهُمْ، قَالَ: يَا رَسُولَ الله، إِنَّا نَرْكَبُ أَرْمَاثًا فِي الْبَحْرِ، فَنَحْمِلُ مَعَنَا الْمَاءَ لِلشفه، فَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَائِنَا عَطِشْنَا، وَإِنْ تَوَضَّأْنَا بِمَاءِ الْبَحْرِ، كَانَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهُ شَيْءٌ! فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
Artinya: “Musaddad berkata: Yahya telah menceriterakan kepada kami dari Yahya bin Sa’id al-Anshari, Abdullah bin Mughirah telah menceriterakan kepada kami dari seseorang yang berasal dari Bani Mudlij, bahwa seorang diantara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sungguh kami mengendarai kapal di laut, lalu kami membawa air untuk kami minum (agar tidak haus), Jika kami menggunakan air tersebut untuk wudhu, maka kami mengalami kehausan. Dan jika kami menggunakan air laut (untuk berwudhu), maka kami merasakan sesuatu (yang membuat ragu)! Lalu Nabi saw bersabda: “Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” [HR. Malik, Ashhabus-Sunan, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain, lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain, no. 491]
Dalam kitab Aunul-Ma’bud dijelaskan, hadits di atas menunjukkan beberapa hukum, di antaranya:
أنّ جَمِيْعَ حَيَوَانَاتِ الْبَحْرِ أي مَا لا يَعِيشُ إلا بِالْبَحْرِ حَلالٌ
Artinya: “Semua hewan-hewan laut, yaitu hewan yang tidak dapat hidup kecuali di laut, adalah halal.” (Muhammad Syamsul-Haq al-Azhim Abadiy Abu ath-Thayyib, Aunul-Ma’bud, Juz 1/107)
Jadi, semua hewan laut adalah halal berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga dalam hal ini adalah ikan hiu.
Memang ada sebagian ulama Syafi’iyah yang mengharamkan ikan hiu, karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw bi-naabihi). (Abul ‘Ala` al-Mubarakfuri, Tuhfatul-Ahwadzi, 1/189; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus-Sabiil, 2/368). Pendapat ini nampaknya didasarkan pada hadits yang mengharamkan memakan setiap binatang yang bertaring:
وَحَدَّثَنِى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الأَيْلِىُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنَا عَمْرٌو – يَعْنِى ابْنَ الْحَارِثِ – أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِى إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنِىِّ عَنْ أَبِى ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Artinya: “Telah menceriterakan kepada kami Harun bin Sa’id Al-Aili, telah menceriterakan kepada kami Ibnu Wahab, telah memberitakan kepada kami Amr—yaitu Ibnu Harits—bahwa Ibnu Syihab telah berkata kepadanya dari Abu Idris al-Khaulani dari Abu Tsa’labah al-Khusyani bahwa, Nabi saw telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” [Shahih Muslim, Bab Haramnya Memakan Binatang Buas yang Bertaring, Juz 6, hal. 60]
Namun, al-Muhib ath-Thabari memfatwakan bahwa ikan hiu adalah halal, mengikuti fatwa Ibnul-Atsir dalam kitabnya an-Nihayah. Menurut Syaikh al-Khathib asy-Syarbini pengarang kitab Mughni al-Muhtaj pendapat yang menghalalkan ini adalah zhahir (jelas). (asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, 4/298). Pengarang kitab Manarus-Sabiil mengatakan, pendapat yang lebih masyhur, ikan hiu itu mubah. (Ibrahim bin Muhammad; Manarus-Sabiil, 2/368).
Yang lebih rajih menurut kami, adalah pendapat yang menyatakan bahwa ikan hiu itu mubah, berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Kitab dan as-Sunnah yang telah disebutkan di atas. Adapun dalil hadits dari Abu Tsala’bah al-Khusyani di atas yang digunakan oleh ulama yang mengharamkan ikan hiu, tidak dapat diterima, karena hadits tersebut hanya berlaku untuk binatang bertaring dari hewan-hewan darat (hayawan al-barr), tidak mencakup binatang bertaring dari hewan-hewan laut (hayawan al-bahr). Hal ini dikarenakan telah ada dalil-dalil yang menghalalkan binatang laut secara umum.
Jadi, dengan mengamalkan dalil-dalil umum yang menghalalkan binatang laut, menghasilkan hukum halalnya ikan hiu. Sedangkan hadits dari Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas juga tetap diamalkan, meskipun dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang darat yang bertaring, tidak mencakup binatang laut yang bertaring. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.
Adapun pendapat yang mengharamkan ikan hiu, berarti mengamalkan hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani di atas secara umum, hingga mencakup pengharaman ikan hiu. Di sini terjadi pengabaian (al-ihmaal) terhadap dalil-dalil yang menghalalkan semua binatang laut. Dengan demikian, tidak semua dalil diamalkan, tapi hanya satu sisi, yaitu dalil yang mengharamkan binatang buas bertaring secara umum. Sementara sisi lainnya, yaitu dalil yang membolehkan semua binatang laut, tidak diamalkan.
Berdasarkan hal itu, Majelis Tarjih dan Tajdid berpendapat bahwa pendapat yang menghalalkan ikan hiu adalah lebih kuat (rajih), karena berarti telah mengamalkan semua dalil yang ada, sebagaimana dijelaskan di atas.
Mengenai anjing laut, perlu diketahui lebih dahulu bahwa ada dua pendapat yang saling berlawanan tentang apakah mamalia ini termasuk binatang darat (hayawanul-barr) ataukah binatang laut (hayawanul-bahr). Yusuf al-Qaradawi dalam Halal Haram dalam Islam mengkategorikan anjing laut sebagai binatang laut. Sementara dalam rubrik Konsultasi Agama: Hukum Binatang yang Hidup di Dua Alam di situs Voice of Islam (http://www.voa-islam.net/), anjing laut digolongkan ke dalam kategori lebih dominan sebagai binatang darat. Sekalipun demikian, jumhur ‘ulama bersepakat tentang bolehnya memakan daging anjing laut. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil nash yang menjelaskan mengenai keharamannya, dan oleh karena itu berlaku hukum asalnya yaitu boleh.
Pengikut Hambali termasuk yang memasukkan anjing laut ke dalam kategori binatang laut. Namun mereka berpendapat, karena anjing laut merupakan hewan yang berbeda dengan hewan laut pada umumnya, sebab anjing laut memiliki darah yang mengalir dan sering hidup di darat, maka mereka mensyaratkan agar ia disembelih lebih dahulu. (Lihat al-Mughni, Jilid 11, hal: 83). Oleh karena itu, ia tidak halal dimakan apabila mati tanpa disembelih terlebih dahulu, berbeda dengan beberapa jenis ikan, ikan paus dan semacamnya dari spesies hewan laut yang tidak hidup kecuali di air. Apalagi bagi yang berpendapat bahwa anjing laut termasuk binatang darat (meskipun mempunyai kemampuan bertahan sangat lama di dalam air dan berenang dengan sangat baik), maka syarat harus disembelih adalah mutlak sebagaimana binatang darat sembelihan yang lain.
Jumhur ‘ulama cenderung tidak mensyaratkan anjing laut harus disembelih terlebih dahulu, sebab hal ini termasuk perkara yang umum dengan berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id al-Anshari, sebagaimana yang telah dicantumkan sebelumnya. (Lihat Syarah Bulughul-Maram asy-Syaikh Athiyyah Muhammad Salim, Juz 2, hal: 5). Namun berbeda dengan jumhur ulama, berdasarkan keterangan-keterangan di atas, kami menyimpulkan bahwa anjing laut halal dimakan, tetapi dengan syarat harus disembelih terlebih dahulu.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 2 Tahun 2010
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Mendapatkan Balasan Neraka
Seorang muslim yang dengan sengaja memakan makanan haram tidak akan mendapat balasan kecuali neraka.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, beliau berkata, "Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya." (HR Tirmidzi)
Orang yang gemar atau sengaja makan makanan haram padahal sudah jelas makanan tersebut haram, maka konsekuensinya ia akan memiliki hati yang keras melebihi batu.
Apabila hati manusia sudah menjadi keras, maka ia akan sulit untuk menerima kebenaran dan akan terus berada dalam kesesatan.
Kumpulan tanya jawab agama Islam (2) yang diajukan oleh pembaca alkhoirot.net.
Assalamualaikum Ustadz.,
ana mau bertanya Ustadz,tentang hukum halal haram.
Ana bergaul/ataupun menyewa tempat tinggal beramai-ramai alasan biar harga sewa murah.
tentu setiap kebiasaan pribadi berbeda-beda. Contoh teman Ana selalu suka membeli TOGEL/judi nombor slalunya tepat.
1. Ana tanyakan, Apakah hukum menerima makanan yg dibeli dng uang judi tersebut?
2. seandainya di tolak selalu mengatakan bahwa kita orang suci tak mau makan makanan hasil togel.
Salah satu cara untuk menjadi pribadi muslim yang lebih baik adalah memilih pergaulan yang kondusif yang dapat membawa kita pada standar etika dan moral yang lebih tinggi. Kecuali apabila kita memiliki pribadi dan komitmen keagamaan yang sangat kuat yang berniat untuk mempengaruhi lingkungan dan tidak kuatir dipengaruhi. Anda tampaknya termasuk golongan yang pertama yang sebaiknya mencari lingkungan pergaulan yang kondusif.
1. Hukum memakan makanan yang jelas berasal dari uang judi adalah haram. Dalam QS Al-Mukminun 23:51 Allah berfirman: يا أيها الرسل كلوا من الطيبات واعملوا صالحاً
Artinya: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam menjelaskan ayat di atas, dalam sebuah hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: إن الله طيب لا يقبل إلا طيباً، وإن الله تعالى أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين
Artinya: Allah itu baik dan tidak meneirma kecuali kebaikan. Sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sama dengan apa yang diperintahkan pada para Rasul.
Dalam QS Al Baqarah 2:172 Allah berfirman: يا أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa orang yang memakan makanan haram maka doa dan ibadahnya tidak akan diterima.
Al Khirsi dalam Hasyiyah Al-Udwa menyatakan: ومن كان كل ماله من الحرام، فيحرم أخذ شيء منه، وكذا إذا عُلم أن طعامه اشتراه بعين الحرام
Artinya: Barangsiapa yang seluruh hartanya berasal dari harta haram maka haram pula mengambil sesuatu darinya. Begitu juga apabila diketahui bahwa makanan yang dibeli berasal dari uang haram.
Akan tetapi apabila uang atau harta yang dipakai untuk membeli makanan itu berasal dari uang campuran antara halal dan haram, maka hukumnya makruh memakan makanannya. Lebih detail lihat:
Pelaku dosa harus bertaubat dengan taubat nasuha. Baca detail:
2. Komitmen pada agama harus mengalahkan komitmen kepada teman. Bahkan pada orang tua sekalipun apabila mereka menyuruh berbuat yang buruk, maka perintah orang tua harus dilanggar.
____________________________________________________________
Ass. Ustadz saya mau tanya ,
apakah sah atau tidak apabila bernazar atau bersumpah di dalam hati tanpa diteguhkan atau diniatkan oleh hati sendiri dengan sebenar-benarnya , terimakasih
Nazar baru terjadi apabila diucapkan secara lisan. Apabila masih dalam hati maka nadzarnya tidak terjadi. Artinya, Anda tidak perlu memenuhi atau melaksanakan nadzar yang belum diucapkan dalam bentuk kata-kata. Lebih detail:
______________________________________________________________
Assalamualaikum wr.wb
Pak ustadz,,apakah dengan meminta maaf secara tulus dan ikhlas kepada orang yang bersangkutan, dosa kita kepada orang tersebut akan diampuni oleh Allah SWT,walaupun kita tidak mengungkapkan kesalahan kita satu persatu pada orang tersebut.
Wassalamualaikum wr.wb.
Haqqul adami (hak sesama manusia) ada dua kategori. Pertama, Hak yang terkait dengan harta benda yang dapat dilunasi atau dibayar seperti hutang, atau mencuri. Dalam kasus ini, maka hak-hak tersebut harus ditunaikan atau dipenuhi pada yang berhak.
Kedua, hak yang terkait dengan sesuatu yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti pernah ghibah (Jawa, ngerasani), pernah memfitnah, membohongi, pernah berkata buruk tentang dia, dll. Dalam kasus ini maka meminta maaf secara umum dengan tulus sudah cukup dan tidak perlu mengatakan kesalahan yang dilakukan secara detail. Ini adalah pendapat segolongan ulama yang mengatakan : وإن كان مما لا يستوفى كالغيبة والنميمة والكذب ونحو ذلك، فيكتفي بالدعاء له والاستغفار وذكره بخير
Artinya: Dosa/kesalahan yang tidak dapat dibayar/dilunasi seperti ghibah, memfitnah, berbohong terhadap seseorang, maka cukup dengan mendoakan, meminta maaf dan menyebut kebaikannya.
Namun pendapat jumhur ulama madzhab tetap mewajibkan menyebut kesalahan yang dilakukan selain meminta maaf sebagai syarat meminta maaf atas kesalahan pada manusia yang lain (hak adami) baik dapat dilunasi atau nonmateri. Ini pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanafi). Dasar hukum yang diambil adalah hadtis sahih riwayat Bukhari
من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
Artinya: Barangsiapa mempunyai kesalahan pada saudaranya (sesama manusia) yang menyinggung harga diri atau harta maka hendaknya meminta maaaf (meminta dibebaskan). Apabila dia memiliki amal salih, maka amalnya akan diambil menurut kadar kesalahannya. Apabila dia tidak punya kebaikan, maka diambillah keburukan saudaranya itu menjadi tanggungannya.
Menurut hemat kami, meminta maaf secara umum adalah yang terbaik karena kalau disebutkan secara detail kesalahan yang dilakukan berpotensi akan semakin memperburuk suasana. Namun apabila dengan menyebutkan kesalahan itu secara detail tidak pihak yang dimintai maaf, maka itu akan lebih ideal.
_______________________________________________________________
Saya ZA saya mau tanya,seorang suami yg selalu merantau meninggalkan istri dan anak untuk mencari nafkah di luar negeri 1 thn sekali balik. Karena di jaman sekarang yg serba canggih ini org dapat berhubungan dg org lain melalui internet, jadi akhirnya sang suami banyak mempunyai kawan2 trutama perempuan, oleh karena sang istri mengetahui semua kejadian sang suami alami, akhirnya istri marah dan selalu mencaci maki padahal suami sudah minta maaf dan tidak lagi berbuat seperti dulu. tapi istri tetap saja tdk mau menerima kenyataan.
Yang saya tanyakan apakah seorang istri bisa masuk sorga tanpa ridonya sang suami.
Suami adalah pemimpin rumah tangga yang harus ditaati oleh istri selagi kepemimpinannya tidak bertentangan dengan syariah. Namun seuami juga perlu menampilkan dirinya sebagai sosok pemimpin yang memang layak dihormati.
Sikap istri Anda yang tidak mau memaafkan Anda itu dalam satu sisi justru positif karena itu artinya dia sangat mencintai Anda. Dan karena itu Anda sebaiknya menghadap seorang yang dapat dimintai nasehat dan meminta saran kepadanya agar istri Anda dapat memaafkan dan rumah tangga Anda dapat kembali normal.
Soal istri yang tidak bisa masuk surga, lihat artikel:
___________________________________________________________________
Assalamu'alaikum wr wb
Pada waktu SMA dan aktif di Sie Kerohanian Islam saya dikenalkan dengan
& Rotib al haddad dibaca setiap jum'at ba'da maghrib...sehingga sy merasa menyatu dgn rotib al haddad tsb. hingga sy di tunjuk teman2 untuk memimpin pembacaan rotib.
terlepas dari itu semua background ke islaman saya adalah Muhammadiyah ...
__________________________________________________________
salam. saya mau tanya ! sya menderita penyakit was was akhir2 ini entah kenapa, rasa-rasanya merasa bersalah terus dengan Allah dan Raasulnya...padalah gara2nya cuman kebaca kalimat2 yg menghina Allah dan nabi,,pdhl hati mnyangkal mngatakan itu,namun trus aja menghantui saya dg kata2 yg kurang sopan,,
sya sdh brusaha menambah aktifitas keagamaan, namun masih ada terlintas bisikan itu hingga akhirnya tiap hari saya mnyesal, apakah saya termaasuk orang yg beerdosa bsar kpd Allah ,pdhl sya sangt ingin mhilangkannya wassalm
mohon di jawab ustadz
Kalau memang kata-kata penghinaan yang keluar itu tidak disengaja dan di luar kendali Anda, maka tidak apa-apa. Nabi bersabda dalam sebuah hadits: رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يبلغ، وعن المجنون حتى يعقل
Artinya: Ada 3 keadaan yang apabila melakukan kesalahan tidak dicatat: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai akil baligh, orang gila sampai sembuh.
Namun, begitu ingat Anda hendaknya segera mengucap istighfar kepada Allah.
Akan tetapi karena yang terjadi pada Anda itu semacam penyakit, maka idealnya Anda berkonsultasi ke psikiater atau psikolog untuk mendapat terapi. Di sampng rajin ibadah shalat yang 5 waktu plus
untuk meminta kesembuhan.
_________________________________________
assalamualaikum wr.wb
ustadz aaya pemuda berumur 19 tahun yang sering melakukan maksiat yaitu berupa menjalin hubungan dengan lawan jenis yang disebut pacaran. tp saya suatu ketika pernah mengingkari keharaman dari pacaran tersebut. dan saya tau apabila mengingkari hukum dapat menyebabkan murtad.
peryltanyaan saya. -> Topik ini sudah
______________________________________________________
Diantara perkara yang dapat melanggengkan hafalan yaitu meninggalkan kemaksiyatan, Yang saya tanyakan, bagaimana halnya dengan orang non muslim, apakah mereka juga lupa dengan ilmunya? Atau bagaimana? Mohon maaf bila ada kesalahan
Apa yang Anda katakan bahwa berbuat maksiat dapat menghilangkan atau mengurangi hafalan itu betul. Seperti kata sebuah syair yang konon dibuat oleh Imam Syafi'i [1] dalam syairnya
شكوت إلى وكيع سوء حفظي فأرشدني إلى ترك المعاصي أخبرني بأن العلم نور ونور الله لا يُهدى لعاصي
Artinya: Aku melapor pada Waki' tentang buruknya hafalanku / Dia memberi petunjuk agar menjauhi maksiat.
Dia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya / Dan cahaya Allah tidak diberikan pada pelaku maksiat.
Hafalan itu berbeda dengan pemahaman. Hafalan membutuhkan konsentrasi dan fokus yang sangat tinggi sedang perbuatan maksiat akan dapat mengurangi fokus seseorang karena adanya perasaan dosa dan problema yang lain.
Namun demikian, kita semua tahu bahwa manusia memiliki daya ingat dan daya hafal yang berbeda sejak dia lahir baik dia kafir atau muslim. Orang kafir yang memang ditakdirkan memiliki daya hafal kuat tentu sedikit banyak akan terpengaruh dengan perilaku dosa yang dilakukan, tetapi kekuatan daya hafalnya yang tinggi akan membuatnya tetap mampu untuk melakukan hafalan dengan baik. Begitu juga, seorang muslim yang memiliki daya hafal lemah tetap akan sulit menghafal walaupun dia berusaha tidak melakukan maksiat karena memang IQ yang dimilikinya rendah.
Contoh, si A yang nonmuslim memiliki IQ 130, kalau dia melakukan dosa mungkin akan mengurangi daya hafalnya menjadi, katakalah, 129. Itu masih terhitung tinggi. Sementara si B yang muslim punya IQ di bawah 100. Bagaimanapun taatnya pada ajaran Islam, tetap saja dia tidak akan dapat mengejar daya hafal dan daya ingat yang dimiliki oleh si A yang nonmuslim.
__________________________________________________
Agar Ibadah dan Doa Diterima Allah SWT
1. bagaiamana cara agar ibadah kita diterima oleh Allah SWT?
2. dan bagaimana agar doa kita dikabulkan oleh Allah SWT? ..
Didik (pertanyaan via Facebook.com/alkhoirot)
1. Khusyu' dalam melaksanakan ibadah. Dan ikhlas dalam mengamalkannya.
2. Ada dua unsur penting agar do'a dikabulkan Allah.
Pertama, berdo'a dengan sungguh-sungguh dan resapi makna yang diucapkan.
Kedua, wujudkan apa yang terucap dalam do'a dalam bentuk usaha yang serius dan kerja keras.
[1] Sebagian pendapat menyatakan bahwa syair tersebut dibuat oleh Ali bin Khashram. Bukan Imam Syafi'i. Karena Waki' bukan guru dari Imam Syafi'i.
_____________________________________________________
Kehalalan makanan yang masuk ke perut sangat berpengaruh pada banyak hal. Salah satunya adalah masalah status dan nilai keimanan kepada Allah SWT. Makanan halal juga akan berpengaruh terhadap keberkahan hidup. Kalau tidak sengaja konsumsi makanan haram bagaimana?
Makanan haram adalah makanan yang dilarang oleh syariat Islam untuk dikonsumsi oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Mengutip dari buku Sembuh Total dengan Wirid Husna karya Rizem Aizid, apabila seorang hamba tetap memaksakan diri memakan barang haram tersebut, maka ia tidak akan mendapat rida Allah SWT. Sebaliknya, ia akan mendapat azab dan dosa dari-Nya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampak dari memaksakan diri memakan makanan yang haram pun ada berbagai macam. Apa saja?
Dijelaskan dalam buku 20 Hari Hafal 1 Juz karya Ummu Habibah, dampak memakan makanan haram untuk tubuh ada lima hal, di antaranya:
FATAL! INI AKIBAT MEMAKAN DARI UANG HARAM
oleh Admin | Dec 28, 2023 | Inspirasi
Dalam agama Islam, ada dua jenis harta, yaitu harta halal dan harta haram. Harta halal adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam, sedangkan harta haram adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syariat Islam.
Hukum memakan dari uang haram adalah haram. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 168:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Akibat Memakan dari Uang Haram di Dunia
Memakan dari uang haram dapat menimbulkan berbagai akibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut adalah beberapa akibat memakan dari uang haram di dunia:
Pertama, terputusnya hubungan dengan Allah. Memakan dari uang haram dapat menyebabkan pelakunya terputus hubungan dengan Allah. Hal ini karena Allah SWT tidak akan menerima ibadahnya dan akan menjauhkannya dari rahmat-Nya.
Kedua, mengalami kerugian dan penderitaan. Memakan dari uang haram juga dapat menyebabkan pelakunya mengalami kerugian dan penderitaan di dunia. Hal ini karena harta haram tidak akan memberikan keberkahan dan akan membawa malapetaka bagi pemiliknya.
Akibat Memakan dari Uang Haram di Akhirat
Memakan dari uang haram adalah dosa besar. Pelakunya akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ رِبَا دِرْهَمٍ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَمَنْ أَكَلَ مِنْ سُحْتٍ دِرْهَمًا فُتِحَ لَهُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ النَّارِ، وَلَمْ يُغْلَقْ عَنْهُ حَتَّى يَأْكُلَ مِنْهُ مِثْلَهُ
“Barang siapa memakan riba satu dirham, maka tidak akan diterima darinya shalat selama empat puluh hari. Barang siapa memakan harta haram satu dirham, maka akan dibukakan baginya satu pintu dari pintu-pintu neraka, dan tidak akan ditutup darinya hingga ia memakan harta haram seperti itu.”
Pencegahan Memakan dari Uang Haram
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami hukum memakan dari uang haram. Dengan memahami hukumnya, kita akan menyadari bahwa memakan dari uang haram adalah perbuatan yang dilarang dan akan menimbulkan akibat buruk.
Sebagai seorang Muslim, kita harus berusaha untuk mencari rezeki yang halal. Rezeki yang halal adalah rezeki yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam.
Ingatlah, bahwa setan selalu menggoda manusia untuk berbuat maksiat, termasuk memakan dari uang haram.Oleh karena itu, kita harus menjaga diri dari godaan setan dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yuk, ikuti informasi seputar islam lainnya bersama kami di Rumah Zakat
Perasaan kamu tentang artikel ini ?
Dalam Islam, hukum judi jelas haram. Diibaratkan bahwa jika bersedekah dengan uang judi seperti mencuci kain dengan air kencing, bukannya bersih malah tambah kotor. Foto ilustrasi/ist
menggunakan uang judi? Dalam Islam, hukum judi jelas haram. Diibaratkan bahwa jika bersedekah dengan uang judi seperti mencuci kain dengan air kencing, bukannya bersih malah tambah kotor.
sendiri adalah amalan yang sangat mulia, bahkan sangat berpahala. Untuk mengamalkanya, harus dilakukan dengan cara yang baik dan mulia pula. Apalagi ini tentang harta, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah:188)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa kata memakan yang ada pada ayat di atas merupakan penggambaran fenomena umum. Artinya, motivasi sebagian besar orang dalam memiliki harta adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya terhadap makanan. Jadi, penggunakan kata memakan pada ayat di atas bukan bertujuan membatasi keharaman pada memakan saja.
yang diperoleh dengan cara tidak benar mencakup seluruh jenis pemanfaatan. Seseorang yang memperoleh harta dengan cara yang tidak benar, baik itu judi, korupsi, mencuri dan sejenisnya, haram hukumnya memanfaatkan harta tersebut.
Seperti diungkap Ustadz Abdurrochim yang dilansir
, para ulama membagi sesuatu yang diharamkan dalam dua kategori: pertama, haram secara dzatnya. misalnya, daging babi, daging anjing, bangkai, darah dan sejenisnya. Kedua, haram secara hukum. Bisa jadi sesuatu itu halal secara dzat, hanya saja cara memperolehnya tidak sesuai dengan syariat maka haram pula mengkonsumsinya. Misalnya, buah-buahan hasil curian, uang hasil korupsi, uang hasil judi dan lain-lain. Allah Subhanahu wa ta'ala mengharamkan kedua jenis harta di atas.
Abu Mas’ud Al-Anshari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam melarang menerima bayaran jual-beli anjing, bayaran zina dan bayaran praktek perdukunan (sihir).”(HR Bukhari Muslim)
Hadis ini bisa menjadi landasan keharaman suatu harta yang diperoleh dengan cara yang tidak benar.
Lantas bolehkah kita bersedekah dengan harta yang diperoleh dengan cara tersebut? Tentang hal ini, Allah Subhanahu wa ta'ala menjelaskannya dalam Al-Qur'an:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِنۡ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّاۤ اَخۡرَجۡنَا لَـكُمۡ مِّنَ الۡاَرۡضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الۡخَبِيۡثَ مِنۡهُ تُنۡفِقُوۡنَ وَلَسۡتُمۡ بِاٰخِذِيۡهِ اِلَّاۤ اَنۡ تُغۡمِضُوۡا فِيۡهِؕ وَاعۡلَمُوۡۤا اَنَّ اللّٰهَ غَنِىٌّ حَمِيۡدٌ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS. Al-Baqarah:267)
Kemudian hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima sholat tanpa bersuci dan sedekah dari hasil korupsi (ghulul).” (HR An-Nasa’i)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, Allah Subhanahu wa ta'ala tidak menerima sedekah harta yang diperoleh melalui cara yang tidak benar. Allah ta'ala hanya akan menerima sedekah harta yang berasal dari sumber yang halal.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengasuh rubrik Konsultasi ZIS Majalah Peduli yang saya hormati. Saya mohon penjelasan, apakah boleh kita bersedekah atau berzakat menggunakan uang haram ? Kalau boleh, apakah bisa uang haram disucikan agar bisa menjadi halal dan bisa disedekahkan? Sekian, dan terimakasih atas jawabannya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Misbahul Munir, Pasuruan, 08127845xxxx
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Misbahul Munir yang terhormat. Dalam sebuah hadis diterangkan, bahwa Allah itu adalah Dzat yang baik, dan tidak menerima suatu ibadah atau suatu amaliah kecuali yang baik-baik saja. Karena itu, Allah tidak akan menerima sedekah atau zakat yang dibayarkan dengan dengan harta yang haram. Bahkan orang yang melakukan hal seperti ini, doa-doanya tidak akan diterima oleh Allah. Bahkan al-Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa ongkos pekerjaan yang berhubungan dengan maksiat itu pekerjaan haram adalah haram juga, dan mensedekahkannya juga tidak boleh dan tidak sah.
Al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab juga menukil pendapat dari al-Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki harta yang haram dan ingin bertaubat, maka jika pemilik harta tersebut masih hidup, wajib mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya atau wakilnya, dan jika pemiliknya sudah meninggal dunia maka harta tersebut diberikan kepada ahli warisnya, dan jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hendaknya dibelanjakan untuk kemaslahatan kaum muslimin yang bersifat umum, semisal untuk membangun masjid.
Berdasarkan uraian di atas, berarti diperbolehkan membangun masjid dengan harta yang dihasilkan dari pekerjaan yang haram, seperti harta yang dihasilkan dari penjualan minuman keras, dan hal tersebut dilakukan bukan dalam rangka sedekah, namun sebagai bentuk taubat seseorang yang memiliki harta haram.
Kesimpulannya, bahwa tidak sah sedakah atau zakat dari harta haram. Kemudian jika si pelaku yang memiliki harta haram itu ingin bertaubat, maka harta tersebut harus dikembalikan pada pemiliknya atau wakilnya. Jika pemiliknya sudah wafat, maka serahkan pada ahli warisnya. Namun jika tidak ada, maka harta tersebut ditasarufkan pada kemashlahatan muslimin. Tasaruf ini tidak dikatakan sedekah, namun bentuk pembebasan diri dari harta haram tersebut. Selengkapnya, silakan merujuk pada kitab al-Minhaj Syarah Shahih Muslim (III/104), al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (9/351), dan Ihya’ ‘Ulumuddin (II/91). Wallahu a’lam bish-shawab.
Doa-Doanya Tidak Dikabulkan
Rasulullah SAW bersabda, "Seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut, mukanya berdebu menengadahkan kedua tangannya ke langit dan mengatakan 'Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!' padahal, makanannya haram dan mulutnya disuapi dengan yang haram, maka bagaimanakah akan diterimanya doa itu?" (HR Muslim)
Dampak ketiga memakan barang haram adalah dapat membuat iman seseorang menipis atau bahkan hilang. Apabila iman tersebut sudah terkikis, maka ia tidak akan digolongkan lagi bersama orang-orang mukmin.
Rasulullah SAW bersabda,
"Tidaklah peminum khamr, ketika ia meminum khamr termasuk seorang mukmin." (HR Bukhari dan Muslim)