Penganiayaan Berat Berapa Tahun Penjara

Apa saja hak anak yang perlu diperhatikan setelah AG ditetapkan 'anak berkonflik dengan hukum' ?

Sumber gambar, KOMPAS.COM

Status AG sebagai "anak yang berkonflik dengan hukum" ditetapkan melalui persetujuan dari Kapolri atau pejabat lain yang ditunjuk kapolri, berdasarkan Pasal 26 UU SSPA. Artinya penyidik tidak bisa langsung menetapkan status tersangka pada anak tanpa ketetapan dari kapolri.

Ketentuan ini berlaku secara keseluruhan pada anak yang berhadapan dengan hukum.

"Tapi ketika anak sudah ditentukan sebagai tersangka, itu ada mekanisme yang harus segera dilakukan melibatkan PK Bapas [Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan]," kata Komisioner KPAI, Dian Sasmita.

Sumber gambar, Piyamas Dulmunsumphun/EyeEm via Getty Images

Bapas ini kemudian melakukan penelitian terhadap keluarga, dan lingkungan dari anak yang berstatus tersangka. Hasil penelitiannya kemudian dilaporkan kepada penyidik polisi sebagai bahan pertimbangan, termasuk penahanan hingga diversi.

"UU SPPA, ini hadir tidak tiba-tiba. Ini hadir untuk merespon bahwa, semua kenakalan anak yang berujung kriminal itu, tidak pernah berdiri sendiri. Tidak tiba-tiba ada anak yang melakukan tindak pidana. Tapi ada pengaruh di luar diri anak," kata Dian.

Apa saja perlakuan khusus lainnya yang berhak diterima AG?

Ada sejumlah perlakuan khusus yang berhak diterima AG sebagai 'anak berkonflik dengan hukum'.

Berikut hak-hak tersebut:

AG berhak memperoleh upaya diversi dari penyidik kepolisian. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Diversi bisa dilakukan selama AG memperoleh ancaman pidana di bawah tujuh tahun penjara, dan ini bukan pengulangan tindak pidana. Hasil diversi adalah perdamaian antara pihak yang berseteru.

"Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif," menurut laporan umum UU SPPA.

Sumber gambar, GALIH PRADIPTA/ANTARAFOTO

Selain itu, ancaman hukuman bagi AG dan anak yang berkonflik dengan hukum tidak boleh lebih dari 10 tahun penjara (pasal 81).

"Kalau pun nanti divonis 10 tahun, itu hanya dijalani sepertiga dari pidana pokoknya," kata pegiat hak anak, Arist Merdeka Sirait kepada BBC News Indonesia, Kamis (02/03).

Seluruh atribut penegak hukum selama proses penyidikan hingga pengadilan tidak boleh digunakan. Hal ini tertuang dalam Pasal 22, di mana polisi, hakim, jaksa, advokat dilarang memakai toga atau atribut kedinasan.

"Kalau nanti harus diajukan ke pengadilan, itu juga harus tertutup persidangannya. Hakimnya sendiri tidak boleh pakai toga," lanjut Arist.

UU SPPA jelas melarang media cetak dan elektronik mengungkap identitas anak korban, saksi dan tersangka. Identitas ini meliputi nama anak, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak.

Sumber gambar, Christine Jerian/EyeEm via Getty Images

"Perlakuan khusus lain, dalam pemeriksaan itu tidak boleh terbuka, harus tertutup. Media juga nggak bisa meliput itu," kata Arist.

Dalam perlakuan khusus kepada korban D, Arist Merdeka Sirait setuju agar pelaku utama penganiyaan ini yaitu Mario Dendy Satrio dihukum seberat-beratnya. "Karena perbuatannya sudah sangat keji," katanya.

Sejumlah surat kabar elektronik secara gamblang mengungkap identitas AG, dan menyebarkan tuduhan-tuduhan yang belum terbukti yang dikutip dari akun-akun media sosial. Identitas D, termasuk ayah korban juga tak luput dari pemberitaan.

Selain UU SPPA, kode etik jurnalis dan pedoman pemberitaan ramah anak yang dikeluarkan Dewan Pers juga melarang surat kabar mengumbar identitas anak khususnya yang berhadapan dengan hukum.

Sekretaris Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jakarta, Marina Nasution, mengatakan sebagian surat kabar "tidak mempertimbangkan dampak psikologis dan efek negatif pemberitaan, dan misleading."

Sumber gambar, simarik via Getty Images

"Tujuan media kan melindungi si anak melindungi haknya sebagai seorang manusia. Kalau aku lihatnya lebih dikuliti, bukan dilindungi," kata Marina.

Selain itu, tak banyak media mengupas persoalan relasi kuasa antara Dandy dan AG, di mana Marina bertanya-tanya "Kenapa bisa pria dewasa berpacaran dengan anak?"

"Media hanya mengamplifikasi apa yang dibilang netizen, bahwa ini kesalahan AG. Kemudian, dia yang jadi tersangka.

Padahal, Dandy itu sudah dewasa. Semestinya dia bisa menimbang ketika dapat input informasi dari pacarnya yang masih anak ini," kata Marina.

SKOR.id - Berapa tahun hukuman penjara streamer atau siapapun yang mempromosikan judi online?

Akhir-akhir ini sedang ramai dibahas di sosial media soal para streamer khususnya dari gim Mobile Legends yang mempromosikan judi online.

Beberapa dari mereka memang tak mempromosikan secara langsung, tetapi mendapat saweran alias donasi dari situs judi online tersebut.

Masalahnya, dengan donasi yang begitu besar, nama situs judi online ini akan terpampang jelas dan bahkan kadang dibacakan oleh streamer tersebut.

Hal ini menjadi masalah karena judi online dilarang di Indonesia, selain itu kebanyakan yang menonton streaming Mobile Legends ini adalah anak-anak di bawah umur.

Hal ini kini sudah ditangani Kemenkominfo, seperti diungkapkan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Dirjen Aptika) Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.

"Sedang diinvestigasi, karena live streaming. Kami lagi kumpulkan barang buktinya," ujar Samuel kepada Kumparan.

"Kami juga dengan penyidik di bawah koordinasi kepolisian. Dari hasil investigasi, kami akan berkoordinasi dengan kepolisian, dalam hal ini cyber crime. Sudah kami mintakan ke YouTube (untuk disuspend akunnya). Dan saat ini kami lagi investigasi pelakunya."

Jika benar terbukti promosi judi online, berapa tahun atau berapa denda yang akan didapatkan oleh para streamer ini?

Merujuk ke situs Kominfo, ada beberapa pasal yang bisa dijeratkan kepada pelaku promosi judi online, untuk siapapun tak terbatas pada para streamer gim.

Tindak pidana judi online diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE. Sedangkan perjudian secara umum diatur dalam Pasal 303 KUHP.

Dalam UU ITE, setiap orang yang mempromosikan judi online dapat dianggap sebagai pelaku yang menyalurkan muatan perjudian. Mereka dapat dikenakan hukuman pidana penjara paling lama enam tahun atau denda terbanyak Rp1 miliar.

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE, isinya mempidanakan setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat bisa diaksesnya informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan perjudian.

Sedangkan dalam KUHP Pasal 303 ayat (1), mengatur perjudian dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah.

Sebelumnya, sudah pernah ada selebgram dan influencer yang ditangkap karena melakukan stream untuk menggaet pemain judi online dan diproses pihak kepolisian.

Jember: Majelis hakim Pengadilan Negeri Jember, Jawa Timur yang diketuai Totok Yanuarto menjatuhkan vonis penjara 25 hari kepada Imron Baihaqi anggota DPRD Kabupaten Jember terdakwa kasus penganiayaan. Hukuman itu dijatuhkan dalam sidang putusan yang digelar secara daring, Senin, 16 Agustus 2021. Sidang yang digelar secara virtual itu diikuti oleh terdakwa didampingi oleh penasehat hukumnya dan jaksa penuntut umum dari Kantor Kejaksaan Negeri Jember. "Majelis hakim telah membacakan vonis terdakwa anggota DPRD Jember yang dinilai telah terbukti dan bersalah dengan menjatuhkan putusan 25 hari kurungan badan," kata Humas PN Jember Slamet Budiono saat dikonfirmasi, Senin, 16 Agustus 2021.  Imron yang merupakan politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jember itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan dakwaan pasal 351 ayat 1 KUHP. Putusan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jember yang menuntut satu bulan penjara dan bayar perkara sebesar Rp5 ribu karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan. Baca: 6 Teduga Teroris Ditangkap di Enam Wilayah Jatim "Majelis hakim menjatuhkan putusan lebih ringan dari tuntutan JPU karena perkara tersebut sudah melalui jalan damai, bahkan korban meminta terdakwa dibebaskan dari hukuman," tuturnya. Penasihat hukum terdakwa Imron Baihaqi, Nur Wakib mengatakan putusan hakim kepada kliennya yang menjadi terdakwa kasus penganiayaan merupakan putusan yang sudah adil. "Klien saya divonis 25 hari penjara dan dalam persidangan mengakui apa yangg telah diperbuatnya adalah salah, sehingga sudah meminta maaf, baik kepada korban maupun masyarakat," katanya. Kasus penganiayaan ini terjadi pada 31 Januari 2021 pada pukul 19.45 WIB, di dekat pintu masuk Pos Satpam Cluster Gardenia Perumahan Bernady Land, Kelurahan Slawu, Kecamatan Patrang. Dalam peristiwa tersebut, korban, Dodik Wahyu Rianto, dua kali dipukul Imron.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jember, Jawa Timur yang diketuai Totok Yanuarto menjatuhkan vonis penjara 25 hari kepada Imron Baihaqi anggota DPRD Kabupaten Jember terdakwa kasus penganiayaan. Hukuman itu dijatuhkan dalam sidang putusan yang digelar secara daring, Senin, 16 Agustus 2021.

Sidang yang digelar secara virtual itu diikuti oleh terdakwa didampingi oleh penasehat hukumnya dan jaksa penuntut umum dari Kantor Kejaksaan Negeri Jember. "Majelis hakim telah membacakan vonis terdakwa anggota DPRD Jember yang dinilai telah terbukti dan bersalah dengan menjatuhkan putusan 25 hari kurungan badan," kata Humas PN Jember Slamet Budiono saat dikonfirmasi, Senin, 16 Agustus 2021.

Imron yang merupakan politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jember itu terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan dakwaan pasal 351 ayat 1 KUHP. Putusan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jember yang menuntut satu bulan penjara dan bayar perkara sebesar Rp5 ribu karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan.

"Majelis hakim menjatuhkan putusan lebih ringan dari tuntutan JPU karena perkara tersebut sudah melalui jalan damai, bahkan korban meminta terdakwa dibebaskan dari hukuman," tuturnya.

Penasihat hukum terdakwa Imron Baihaqi, Nur Wakib mengatakan putusan hakim kepada kliennya yang menjadi terdakwa kasus penganiayaan merupakan putusan yang sudah adil.

"Klien saya divonis 25 hari penjara dan dalam persidangan mengakui apa yangg telah diperbuatnya adalah salah, sehingga sudah meminta maaf, baik kepada korban maupun masyarakat," katanya.

Kasus penganiayaan ini terjadi pada 31 Januari 2021 pada pukul 19.45 WIB, di dekat pintu masuk Pos Satpam Cluster Gardenia Perumahan Bernady Land, Kelurahan Slawu, Kecamatan Patrang. Dalam peristiwa tersebut, korban, Dodik Wahyu Rianto, dua kali dipukul Imron.

Liputan6.com, Jakarta Judi online menjadi fenomena yang semakin marak di Indonesia. Kemajuan teknologi serta akses internet yang mudah membuat praktik perjudian online semakin subur di berbagai kalangan. Mulai dari anak muda hingga orang dewasa, banyak yang tergoda untuk mencoba peruntungan dalam permainan ini.

Namun, perlu diketahui bahwa perjudian, baik secara langsung maupun online, merupakan tindakan yang melanggar hukum di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kegiatan ini masuk dalam kategori perbuatan yang dilarang dengan ancaman pidana berat. Tidak sedikit pula pelaku yang telah ditindak oleh aparat hukum dan dijatuhi hukuman sesuai peraturan yang berlaku.

Lantas, apa saja hukuman yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku judi online? Simak penjelasan berikut untuk mengetahui rincian sanksi yang diterapkan berdasarkan UU ITE dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru.

Riaumandiri.co - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru menjatuhkan vonis 8 tahun penjara kepada Marisa Putri (22) dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang menewaskan seorang ibu rumah tangga, Renti Marningsih (46). Putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Hendah Karmila Dewi, dalam sidang yang digelar Kamis (12/12).

Hakim menyatakan Marisa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 311 ayat (5) dan Pasal 310 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Sebelum menjatuhkan amar putusan, majelis hakim menyampaikan sejumlah pertimbangan. Hal yang memberatkan, kata Hakim, perbuatan terdakwa menyebabkan korbannya, Renti Marningsih (46), meninggal dunia, dan menyebabkan kerusakan pada 1 unit kendaraan sepeda motor Yamaha Vega ZR milik korban,

"Perbuatan terdakwa menimbulkan penderitaan, trauma yang mendalami dan berkepanjangan bagi keluarga korban, serta perbuatan terdakwa menyebabkan keresahan yang meluas di masyarakat," ujar Hakim Ketua, Hendah Karmila.

Marisa juga diketahui positif menggunakan narkotika jenis methamphetamine saat kejadian. Tidak adanya perdamaian antara terdakwa dan keluarga korban menjadi poin tambahan yang memberatkan.

Sementara hal meringankan, terdakwa Marisa dinilai hakim bersikap sopan dalam memberikan keterangan di persidangan dan mengakui serta menyesali perbuatannya. Terdakwa juga meminta maaf secara langsung di persidangan kepada saksi Iswandi Putra, yang merupakan suami korban.

"Menyatakan terdakwa Marisa Putri alias Marisa binti Edi Ujang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan kerusakan pada kendaraan," kata Hakim Ketua Hendah di ruang sidang Prof R Soebroto.

"Oleh karenanya, menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 8 tahun," tambah hakim Hendah.

Tak hanya itu, hakim turut menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM) A selama 2 tahun terhitung sejak Marisa Putri selesai menjalani masa hukuman.

Putusan itu sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Senator Boris Panjaitan yang disampaikan pada persidangan sebelumnya.

Atas putusan itu, baik Marisa maupun JPU menyatakan menerima. Dengan demikian, perkara tersebut dinyatakan inkrah atau memiliki kekuatan hukum yang tetap. Dalam waktu dekat, Jaksa akan mengeksekusi Marisa Putri.

Sementara itu, dari surat dakwaan yang dibacakan JPU saat sidang perdana terungkap, Marisa Putri, terdakwa kasus kecelakaan lalu lintas yang tewaskan korbannya di Pekanbaru, mengendarai mobil miliknya dengan kecepatan tinggi. Sekitar 90 kilometer perjam.

Surat dakwaan itu dibacakan JPU lainnya, Jefri Armando Pohan pada sidang yang digelar pada Kamis (24/10) lalu. JPU mengatakan, peristiwa nahas terjadi pada Sabtu (3/8), yakni bermula pada 05.30 WIB, terdakwa Marisa baru selesai dari tempat hiburan malam yang beralamat di KTv Furaya Hotel Kota Pekanbaru.

Lalu pada saat itu terdakwa yang sudah dalam kondisi menggunakan narkotika jenis sabu hendak pulang ke rumahnya yang beralamat di Jalan Permadi IV RT 007 / RW 005, Kelurahan Delima, Kecamatan Tampan, Kota Pekanbaru.

Dia mengendarai 1 unit mobil Toyota Raize BM 1959 FJ miliknya. Selanjutnya sekira pukul 05.45 WIB pada saat terdakwa sedang melintasi Jalan Tuanku Tambusai, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, tepatnya pada Jalur Selatan depan Penginapan Linda, datang dari arah timur menuju barat, Marisa Putri yang dalam keadaan sadar mengendarai mobil tersebut dengan kecepatan yang tinggi 90 kilometer perjam.

Terdakwa menabrak 1 unit sepeda motor Yamaha Vega ZR BM 4697 JZ yang sedang dikendarai oleh korban Renti Marningsih (46) yang berada tepat di depan terdakwa dengan sangat keras sehingga menyebabkan motor yang sedang dikendarai korban terpental kurang lebih 10 meter jauhnya.

Atas kejadian itu, korban mengalami luka pada kepala dan pendarahan dari hidung dan telinga, sehingga menyebabkan korban meninggal dunia di tempat.

Setelah kejadian tersebut, sejumlah warga langsung menolong korban, sedangkan terdakwa pergi melarikan diri akan tetapi berhasil diamankan.

Atas kejadian tersebut, terdakwa langsung dilaporkan ke Polresta Kota Pekanbaru untuk diproses lebih lanjut.

Berdasarkan surat visum Et Repertum No.56/IMR-VER/RSUD AA/VIII/2024 tanggal 06 Agustus 2024 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr Beton Sitepu selaku Dokter Pemeriksa pada RSUD Arifin Achmad, telah melakukan pemeriksaan terhadap jenazah korban Renti Marningsih.

Adapun kesimpulannya, pada jenazah korban dijumpai luka terbuka pada kepala kanan, memar pada dahi kiri, lebam lebam pada mata kiri, keluar darah dari telinga dan hidung, gigi seri kedua atas kiri patah, luka lecet pada pinggang kanan, tangan kiri dan kanan, kaki kiri dan kanan akibat kekerasan benda tumpul.

Bahwa berdasarkan Surat Hasil Pemeriksaan Laboratorium Narkoba tanggal 03 Agustus 2024 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr Ridha Amaliah, Sp.Pk selaku Bagian Laboratorium pada Laboratorium RS Bhayangkara Pekanbaru, telah melakukan pemeriksaan urine terhadap terdakwa Marisa Putri, dengan hasil kesimpulan pemeriksaan urine positif mengandung Met Amphetamin.

Mengapa anak memperoleh perlakuan khusus dalam proses hukum?

Sumber gambar, seksan Mongkhonkhamsao via Getty Images

Karena mereka dilindungi Undang Undang Perlindungan Anak, termasuk Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah mereka yang menjadi korban, saksi dan pelaku dengan usia belum mencapai 18 tahun.

Dian mengatakan anak belum cakap secara hukum, baik dari sisi kognitif dan mental.

"Supaya anak ini terhindar dari dampak buruk peradilan pidana umum, makanya muncul peradilan pidana anak," papar Komisioner KPAI, Dian Sasmita.

Sementara anak sebagai korban perlu mendapat pendampingan oleh pekerja sosial profesional di bawah otoritas pemerintah daerah.

"Pendampingan rehabilitasi, khususnya anak sebagai korban maupun anak sebagai saksi. Dan, anak sebagai pelaku juga," tambahnya.

Dalam Pasal 90 UU Sistem Peradilan Pidana Anak juga disebutkan, korban berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga.

Selain itu, korban anak juga harus dijamin keselamatannya, baik fisik, mental, serta sosial; dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

"Nah, itu pemerintah harus hadir di sana. Kami dari KPAI memastikan pemerintah itu hadir," jelas Komisioner KPAI, Dian Sasmita.

AG dituntut empat tahun penjara

Sumber gambar, Kompas.com

Jaksa Penuntut Umum menuntut AG (15) dengan empat tahun penjara dalam kasus penganiayaan remaja berinisial D (17). AG adalah mantan pacar Mario Dandy Satrio (20), pelaku penganiayaan D di Kompleks Green Permata, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, pada 20 Februari 2023.

"Terhadap yang bersangkutan dituntut empat tahun penjara dan akan menjalani masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)," ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan, Syarief Sulaeman Ahdi, Rabu (05/04), sebagaimana dikutip Kompas.com.

AG didakwa dengan Pasal 355 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana lebih dulu.

"Dengan banyaknya alasan yang memberatkan dan lebih sedikit alasan yang meringankan kami menuntut dan menempatkan dalam LPKA selama empat tahun," kata Syarief.

Ancaman hukuman maksimal yang bisa diberikan kepada AG, menurut Syarief, sejatinya mencapai 12 tahun penjara.

Namun, karena AG masih anak-anak, kata Syarief, hukumannya bisa dipotong sampai setengahnya.

"Ancaman maksimal untuk dewasa 12 tahun, dan untuk anak dipotong setengahnya menjadi empat tahun. Harapannya dia bisa memperbaiki dirinya karena masih punya masa depan," papar Syarief.

AG sebelumnya sudah ditetapkan sebagai 'anak berkonflik dengan hukum' oleh Polda Metro Jaya sejak 2 Maret 2023.

Sumber gambar, FAUZAN/ANTARAFOTO

Polda Metro Jaya menetapkan AG (15) sebagai 'anak yang berkonflik dengan hukum' dalam kasus penganiayaan D (17) oleh tersangka Mario Dandy Satrio (20) dan Shane Lukas Rotua (19).

AG diketahui berada di lokasi kejadian saat penganiayaan berlangsung di bilangan Jakarta Selatan pada 20 Februari lalu.

Penganiayaan terhadap D bermula saat Mario marah karena mendengar kabar dari saksi bernama Amanda yang menyebut AG (15) mendapat perlakuan tidak baik dari korban.

Mario lalu menceritakan hal itu kepada temannya, Shane Lukas (19). Kemudian, Shane memprovokasi Mario sehingga Mario menganiaya korban sampai koma. Shane juga merekam penganiayaan yang dilakukan Mario.

"Ada perubahan status dari AG yang awalnya adalah anak berhadapan dengan hukum meningkatkan statusnya menjadi anak yang berkonflik dengan hukum atau berubah menjadi pelaku," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi kepada wartawan, Kamis (02/03).

Kepolisian berjanji akan memberikan perlakuan khusus terhadap AG sesuai aturan yang berlaku.

AG dijerat pasal 76c juncto pasal 80 UU perlindungan anak dan atau pasal 355 ayat 1 juncto 56 subsider Pasal 354 ayat 1 juncto Pasal 56 lebih subsider Pasal 353 ayat 2 lebih subsider Pasal 351 ayat 2 KUHP.

Ancaman hukuman dari sejumlah pilihan pasal-pasal ini bervariasi dari empat hingga 12 tahun penjara.

Sebelumnya, Mangatta Toding Allo, kuasa hukum AG melaporkan keluhan kliennya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ia mengatakan kepada media untuk meminta perlindungan.

"Kami memantau, [AG] memang sedang terpuruk dengan pemberitaan-pemberitaan," kata Mangatta seperti dikutip dari Kompas.com, (28/02).

Verifying that you are not a robot...

Keluarga korban menerima putusan hakim

Kuasa hukum korban D, Melissa Anggraini menilai hakim "sudah cukup cermat" dalam memutuskan perkara ini.

"Walaupun tadinya keluarga berharap hukuman maksimal, tapi kami menerima dan menghargai putusan ini," ujar Melissa kepada wartawan usai persidangan.

"Kami berharap keputusan hari ini tidak saja menjadi efek jera bagi pelaku anak, tapi menjadi efek jera bagi seluruh masyarakat," kata dia.

Melissa mengatakan kasus ini telah menyebabkan korban D cedera otak berat dan berpotensi mengalami cacat permanen. D sudah dirawat di ruang perawatan insentif selama 50 hari.

Sejak sadarkan diri dari koma, Melissa menyebut bahwa D "belum bisa berkomunikasi dua arah, memorinya masih melompat-lompat, dan belum mengetahui mengapa dia ada di rumah sakit".

Apakah AG bisa ditahan selama proses penyidikan?

AG masuk kategori usia anak [12-18 tahun] yang bisa dikenakan tindakan dan pidana.

Andaikan usia AG di bawah 12 tahun, menurut UU SPPA, maka ia tidak bisa dikenakan pidana, melainkan pembinaan.

Sementara itu, Pasal 32 UU SPPA menjelaskan penahanan terhadap anak bisa dilakukan dengan syarat anak telah berusia 14 tahun atau lebih; dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih.

Sumber gambar, KOMPAS.COM

Bagaimana respons KPAI?

Sumber gambar, fotojog via Getty Images

Dalam keterangan terbaru, Komisioner KPAI, Dian Sasmita, mengatakan pihaknya akan mengambil langkah pengawasan setelah AG ditetapkan sebagai 'anak yang berkonflik dengan hukum'—istilah penetapan sebagai 'tersangka' dalam peradilan anak.

"Apapun status hukumnya, mereka punya hak yang perlu pemerintah penuhi. KPAI kapasitasnya mengawasi agar peran-peran pemerintah dan penegak hukum berjalan sesuai aturan yang ada," katanya kepada BBC News Indonesia, Kamis (03/02).

Lebih lanjut, Dian juga mengatakan pihaknya akan memastikan baik kepada AG dan korban D, yang masih berstatus sebagai anak, untuk memperoleh layanan dari UPTD PPA.

Sumber gambar, Hélène Desplechin via Getty Images

UPTD PPA adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak. Ini merupakan unit pelaksana teknis di bawah pemda dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus dan masalah lainnya.

"Kita lakukan saja sesuai mandat," kata Dian.

Kasus penganiayaan: AG divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti 'turut serta' dalam 'penganiayaan berat yang direncanakan'

Sumber gambar, Detikcom

Diperbarui 10 April 2023

AG (15) divonis hukuman 3,5 tahun penjara setelah dinyatakan bersalah karena turut serta menganiaya korban D (17).

"Menyatakan anak AGH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penganiayaan berat dengan rencana terlebih dahulu," kata Hakim tunggal Sri Wahyuni Batubara dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (10/4).

Hakim juga memutuskan bahwa AG akan menjalani masa tahanan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Dalam pertimbangannya, Hakim Sri mengatakan kondisi korban D yang masih dirawat di rumah sakit dan mengalami kerusakan otak berat menjadi hal yang memberatkan bagi AG.

AG juga dinilai terlibat "aktif" dalam merencanakan penganiayaan itu, dan terbukti "mengelabui" korban D untuk mau menemuinya.

Selain itu, AG juga tidak berupaya mencegah maupun menghentikan aksi penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy ketika David telah terkapar dan tidak bergerak.

Sementara hal yang meringankan, bahwa AG masih berusia 15 tahun dan diharapkan bisa memperbaiki diri, menyesali perbuatannya, dan memiliki orang tua yang mengidap penyakit stroke dan kanker paru stadium empat.